floriche firdaus yunisman

cinta dalam islam



cinta dalam islam

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah
mengalaminya? Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya.
Akhir-akhir ini tingkah lakunya berubah drastis. Ia jadi suka termenung
dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya sibuk ketak-ketik di
atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas
pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu
mendengar nada panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya
itu, wajahnya seketika merona. Lagu-lagu romantis menjadi akrab di
telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput dari
perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih
berbunga-bunga. Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi
semerbak.
Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya
Kahlil Gibran, pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece
bertema cinta. Tak cuma menghayati, kini dia pun menjadi penyair yang
mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-bait syair.
“Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut,
mesra, sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi
yang senantiasa mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga.”
Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung
menyeruak juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai
manusia, wajar jika saya ingin merasakan totalitas mencintai dan dicintai
seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan untuk mencintai Allah
lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?
Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya
itu? Bagaimana menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati?
Apakah cinta itu adalah karunia sehingga boleh dinikmati dan disyukuri
ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu? Bagaimana sebenarnya
Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah rasanya
menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.
Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah
majelis taklim bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta
manusia seyogyanya digiring mengarah pada Sang Khalik, sehingga cinta
kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru, cinta pada
sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya
adalah firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, “Dan di antara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan
garis pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman
melalui indikator perasaan cintanya. Orang yang beriman akan memberikan
porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang jauh lebih besar pada
Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru kepada
selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.
Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang
bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan
tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada
Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan
firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang
mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan
harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai
pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24). Subhanallah!
Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan
sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta
seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah,
membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan
mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya
melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa
berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk
berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud.
Betapa indahnya jalinan cinta itu!
Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa
didengar, dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru
mengerti mengapa iman itu diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-Nya dianggap sebagai
sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa
sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela
agama-Nya.
Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan
tubuhnya. Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada
setiap tindak-tanduk dan tutur katanya. Rasa takut atau cemas selalu
timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya merana tatkala
membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi,
qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya,
hatinya tenang bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang
sempurna… Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta
memang anugerah yang terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia
keliru menafsirkan dan menggunakannya. Islam tidak menghendaki cinta
dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti hawa nafsu
seperti kasus sahabat saya tadi.
Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya.
Bila saja pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya.
Dan andai saja gelora cintanya itu diungkapkan dengan mengikuti
syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah, mawaddah, penuh
rahmah dan amanah… Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat…
Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana
seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan
cinta yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini
diilustrasikan dalam sebuah syair karya Ibnu Hasym, seorang ulama
sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam bukunya
Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), “Cinta itu bagaikan pohon,
akarnya menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.” Wallahua’lam
bish-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar